Short Bieber
Love Story
Melody of
Forgiveness made by: @mayangaenii
ONESHOT
“apakah kau tau jika aku terluka? Apa yang harus aku lakukan? Just let me
know! What Should I do?”
-Melody of
forgiveness-
Musim gugur 2012
Malam semakin larut. Ruangan semakin hening. Hanya terdengar
deru dari mesin pendingin dan sayup-sayup suara yang mengalun dari televisi
yang menyala tanpa ada seseorang yang menontonnya. Seorang perempuan tertidur
lelap di sofa beledu di depan televisi sebesar 40 inch tersebut. Ruangan luas
bergaya minimalis itu sudah menjadi saksi bisu kehidupan rumah tangganya yang
menyedihkan.
Brak.
Perempuan itu terbangun ketika mendengar suara pintu
apartmentnya berdebum. Ah, itu pasti suaminya.
Alena--nama perempuan cantik itu--segera bangun dari tidurannya dan berdiri
untuk menyambut suaminya. Tubuh kurus dan lemah itu semakin kehilangan
tenaganya ketika melihat suaminya tengah merangkul dua orang gadis sekaligus.
Meskipun ia sudah biasa melihat pemandangan ini selama beberapa bulan
belakangan ia masih sulit menghilangkan perasaan sakit di hatinya.
“Emhhh...honey, dia
istrimu?” tanya salah satu gadis dalam rangkulan Justin-suaminya- itu dengan
wajah tak berdosa sama sekali.
“Tidak perlu dibahas. Ayo kita bersenang-senang” ucap Justin
dengan dingin sambil menggiring dua gadis itu menuju kamarnya dan Alena. Alena
mengelap kasar air mata yang sudah mengotori pipinya entah sejak kapan itu.
“Kau boleh melakukan apapun dengan siapapun...tapi tidak di
kamar kita!” ucap Alena sambil menatap tajam ke arah dua wanita yang tengah
sibuk membuka kemeja Justin. Justin melepaskan tangannya dari tubuh dua gadis
yang sedang berebut mencumbuinya itu. Hatinya sama sakitnya, melihat istrinya
tak pernah marah akan aktivitas bejatnya selama ini. Alena beranjak pergi
sebelum Justin sempat membuka mulutnya.
“Bersabarlah...hanya dua minggu lagi” lirih Alena sambil
kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Ia menutup kedua telingan dengan bantal,
tidak ingin mendengar suara menjijikan –desahan- yang di hasilkan suaminya.
Tidak.
“Sayang...ayohh..kau tidak ingin menyentuh kami?” tanya gadis
berambut blonde itu seduktif. Justin mengacak gemas rambutnya sendiri.
“Pergilah! Aku tidak berminat!” ucapnya dingin. Dua gadis itu
terkejut. Bahkan mereka belum di apa-apakan oleh si tampan ini.
“Tap—“
“Ini uang kalian! Pergilah! You’re disgusting!” dua gadis itu
menatap Justin dengan pandangan aneh sambil mengambil uang yang diberikannya.
Kata-kata kasar semacam itu sudah biasa di terima mereka, toh pekerjaan mereka
memang menjijikan.
“Aku tidak mengerti jalan pikiran anda. Ternyata yang di
katakan teman-temanku di bar benar. Anda orang aneh! Menyewa kami hanya untuk
membuat istri anda sendiri menangis lalu mencaci maki kami. Dasar orang kaya
gila!” ucap si rambut blonde itu sambil kembali memakai mantelnya lalu menarik
temannya untuk mengikutinya keluar. Justin mendesah frustasi. Ya, wanita-wanita
malam itu benar. Justin sudah gila. Namun tujuannya bukanlah untuk membuat istrinya
menangis, bukan. Bagaimana mungkin ia menyakiti wanita yang paling di
cintainya? Tidak, ia hanya bingung harus melakukan apa. Selama 8 bulan
pernikahannya, selama itu pula Alena tak pernah ingin disentuhnya bahkan
menjaga jarak.
Justin dan Alena adalah sepasang kekasih sejak sekolah SMA.
Mereka menikah setelah Justin mendapat sebuah pekerjaan di salah satu
perusahaan musik terkenal di Los Angeles. Alena memilih untuk menjadi ibu rumah
tangga dan sesekali aktif di acara-acara amal bersama teman-teman kampusnya. Alena
dan Justin adalah pasangan seperti umunya, mereka saling mencintai dan
menyayangi. Hanya saja, dua hari setelah pernikahan mereka Alena mulai berubah.
Ia lebih murung dan pendiam. Bahkan ia menjaga jarak dengan Justin. Sekeras
apapun Justin mencoba mengembalikan Alenanya, sekeras itu pula Alena
menjauhinya. Mereka tinggal di tempat yang sama. Tapi sebisa mungkin Alena
tidak melakukan kontak fisik dengan Justin. Melakukan hubungan? Itu hanyalah
angan-angan saja. Malam pertama merekapun belum sempat melakukannya karena Alea
sedang menstruasi hingga 8 bulan pernikahannya saat ini, mereka tidak pernah
lagi berciuman seperti ketika mereka pacaran dulu.
8 bulan tanpa sentuhan seorang wanita membuat Justin
frustasi. Ia ingin sekali menyentuh istrinya namun wanita yang paling
dicintainya itu justru menjaga jarak. Ia mulai sering mabuk-mabukan sepulang
kerja dan membawa gadis-gadis malam yang ditemuinya di bar. Tapi setiap kali ia
mencoba berhubungan dengan gadis-gadis itu setiap kali juga ia membayangkan
wajah Alena dan akhirnya ia tidak melakukannya. Hal yang lebih membuatnya stres
adalah Alena tak pernah protes.
“Nggh...” Justin terbangun ketika sinar matahari mulai
menerobos masuk ke kamarnya. Justin mengucek matanya. Ia tertidur masih dengan
pakaian formalnya. Efek wine yang di minumnya masih terasa, membuat kepalanya
pening. Justin mencoba bangun dan mendapati Alena sedang memegang nampan berisi
air putih, susu dan semangkuk cream soup.
“Makanlah” ucap Alena sambil meletakkan nampan itu di meja di
kamar mereka. Justin menatap nanar istrinya. Sudah sangat lama tubuh itu tak
memeluknya dengan manja. Sudah sangat lama tubuh itu tak di peluknya. Ia
merindukan Alenanya.
“Justin... aku sudah menyiapkan bajumu. Aku pergi dulu”
Blam.
Seperti biasa, Alena akan pergi meninggalkan Justin ketika Justin
tengah libur dan memilih di rumah. Sudah jelaskan? Alena selalu menghindarinya.
“Alena, sayangku.....bunuh
aku jika itu lebih baik! Bunuh aku daripada kau menjaga jarak dariku...buatlah
aku mengerti apa yang salah Alena...” Justin membanting tubuhnya ke kasur.
Menenggelamkan dirinya dibalutan hangat bed cover putih yang telah ia gunakan
selama 8 bulan ini sendiri yang seharusnya membalut tubuhnya bersama Alena.
“Apa gunanya kita menikah jika kau tak bahagia bersamaku Alena?
Lebih baik kau menolak lamaranku dulu daripada kau menyesal setelah kita
menikah sekarang”
---
Alena terduduk lemah di luar kamarnya. Ia tidak pergi
kemana-mana. Ia bertahan disana sejak mendengar suara Justin yang putus asa. Ia
merasakan hatinya sakit. Sampai rasanya ia ingin mati saja saat itu daripada Justinnya
menderita lebih dalam lagi.
“I’m so sorry Justin, sorry...”
Kepalanya terasa sakit. Alena memegangi kepalanya lalu dengan
segenap kekuatan yang ada dia menelfon seseorang dan meminta bantuannya. Oh
mungkinkah waktunya di percepat? Bukankah masih ada dua bulan lagi? Dengan
seluruh sisa tenaganya Alena bangkit dan berjalan sambil berpegangan ke
dinding. Ya, ia harus segera pergi.
“Justin...tunggulah. Aku akan menjelaskannya” bisiknya sambil
menatap nanar foto pernikahannya yang terpajang indah di ruang tengahnya.
“Maaf membuatmu menunggu terlalu lama”
Dan sosok mungil Alena menghilang di balik pintu.
---
“Justin...
aku ingin bertanya”
“tanya
saja”
“Gosh,
Justin! Bisakah kau rubah sedikit sikapmu itu. Berbicara dengan kekasihmu
sendiri saja kau ketus begitu!”
“Oh God..
Yes... Just ask me honey...”
“ewhh so cheesy”
“Whatt!!” Alena
tertawa pelan. Lalu tangannya merengkuh lengan kekar Justin. Menyandarkan
kepalanya di bahu tegap seorang Justin Drew Bieber.
“jika kau
tenggelam di lautan bersamaku. Dan kau diberikan pilihan hanya satu.
Menyelamatkan hidupmu atau menyelamatkanku. Kau pilih mana?” Justin
menghentikan aktifitasnya memainkan psp. Ia mulai menatap wajah polos
kekasihnya yang tengah menatapnya sambil menunggu jawabannya.
“Kau bercanda? Tentu saja hidupku”jawab Justin enteng membuat Alena dengan segera mendorong Justin kesal.
“Ergh! Kau
jahat! Padahal jika aku itu kau... aku akan memilih mati bersamamu!” Justin
terkekeh mendengar penuturan Alena. Diraihnya jemari lentik Alena dan
dikecupnya lembut.
“Hidupku
adalah kau. Jadi, dengan aku
menyelamatkan kau...aku telah menyelamatkan hidupku”
“....” Alena
terpaku tak terasa air mata menetes membasahi pipihnya. Hanya seuntai kalimat
gombal dari Justin sukses membuatnya berdebar hebat dan bersyukur. Bersyukur
karna Tuhan telah menjadikan lelaki ini miliknya, masa depannya.
“God!
Kenapa kau menangis? Dasar cengeng! Sudah jelek semakin jelek!” ucap Justin
sambil mengelap lembut air mata Alena dengan ibu jarinya. Alena hanya
membalasnya dengan ucapan ‘thanks’ tanpa suara. Dan mereka menghabiskan waktu
berduaan lebih lama.
---
“Kau membiarkan aku tenggelam sendiri Alena! Kau bohong jika
kau rela mati bersamaku! Kau memilih meninggalkan aku tersiksa disini! Alena
Bieber...bangunlah!” ya. Beberapa jam setelah Alena mengantarkannya sarapan dan
pergi Justin mendapat telfon dari pihak rumah sakit untuk segera datang karna Alena
sedang kritis. Dokter tak menjelaskan apa yang menyebabkan Alena yang begitu
kuat kini tengah terbaring dengan berbagai macam alat yang tak Justin mengerti.
“Alena, sayang
jangan begini! Kau lebih baik mendiamiku di rumah daripada kau mendiamiku
seperti ini Alena! Buka matamu...buka!!” Justin menangis keras. Perasaannya
campur aduk. Bingung, kesal, marah, sedih, takut menjadi satu. Ia bingung
kenapa Alena bisa berada disini, ia kesal kenapa ia tidak tau Alena punya
penyakit, ia marah karna Tuhan membiarkan istrinya sakit seperti ini, ia sedih Alenanya
tak kunjung membuka mata dan ia takut... jika ia tak bisa melihat lagi Alenanya.
Tidak!
“Mr. Bieber bersabarlah” ucap suara lembut seorang dokter
yang menangani Alena. Dokter bernama Andrea inilah yang tau segalam macam
tentang penyakit Alena.
“Ini... surat emm mungkin wasiat yang Alena titipkan padaku
jika waktu-waktu seperti ini benar-benar datang” ucap Andrea sambil menyerahkan
sebuah amplop pada Justin. Justin menerimanya dan berterima kasih lalu Andrea
meninggalkan Justin.
Justin duduk disisi ranjang Alena sambil membuka dengan
perlahan amplop berwarna putih itu. Hatinya mencelos ketika ia mendapati wangi Alena
tertinggal didalam surat tersebut.
To: My boy, Justin
Maff membuatmu bingung akan sikapku.
Membiarkanmu sakit karna aku menjaga jarak. Membiarkanmu terlukan karna
istrinya sendiri tak ingin disentuh oleh suami sahnya. Semua itu kulakukan
bukan karna aku tak mencintaimu Just. Itu aku lakukan karna aku sangat
menyayangi dan mencintaimu. Dua hari sejak pernikahan kita, aku pergi bersama
teman-teman kampusku untuk ikut acara donor darah. Kau ingat? Aku beralasan
akan pergi ke salon padamu agar kau memperbolehkan aku. Mungkin Tuhan memberiku
hukuman karna aku berbohong pada suamiku sendiri. Aku tak tau jika seorang
pengidap HIV itu berniat menularkan penyakitnya itu padaku. Mungkin, ia butuh
teman untuk merasakan hal yang sama dengannya. Ia menyuntikku dengan jarum
suntikkannya. Aku tak menyalahkannya karna sudah menularkan penyakit itu kepadaku.
Aku juga tak marah pada Tuhan karna telah memberikanku penyakit itu. Mungkin
ini sudah takdirku. Beberapa hari setelah itu menstruasiku selesai (kau ingat
karna menstruasiku kita tak bisa melakukan malam pertama? xoxo) aku menyiapkan
diri untuk memberikanku seutuhnya padamu. Siang itu aku pergi ke supermarket
untuk membeli bahan makanan spesial untukmu. Beruntung sekali aku bertemu orang
yang menyuntikku hari itu. Ia menjelaskan padaku apa yang telah diperbuatnya.
Aku tak tau aku harus marah atau sedih tapi yang jelas aku menangis. Orang itu
berlutut memohon ampun padaku dan menyuruhku segera periksa ke dokter dan
berdoa semoga saja aku tidak positif tertular. Tapi dia salah, dokter
menyatakan aku positif terkena HIV. Hidupku hancur, aku tak bisa memberikanmu
keturunan, aku tak bisa melayanimu, aku tak bisa lagi hidup untuk menjadi
pendampingmu. Dengan pernikahan seumur jagung kita, aku bingung aku harus
bagaimana Justin. Sejak hari itu aku memutuskan menjauhimu. Aku tak akan
membiarkan kau tertular penyakitku. Tidak, aku terlalu mencintaimu untuk
melihat kau menderita dengan penyakit ini.
Air mata Justin sudah membasahi kertas yang dipegangnya.
Beberapa kata bahkan mulai luntur terkena air matanya. Sebelah tangannya
menggenggam tangan Alena kuat. Tidak, gadis itu tak boleh pergi darinya.
Maaf
membuatmu terluka Just. Aku sedih ketika beberapa bulan belakangan ini kau
sering pulang dengan keadaan mabuk bersama wanita-wanita kotor. Aku takut
mereka memiliki penyakit yang sama sepertiku dan kau jadi tertular karena
berhubungan dengan mereka. Tapi aku tau, Justinku bukanlah pria brengsek. Kau
tak akan tega melakukan hal nista itu padaku-kan?
Penyakit
ini terus-terusan mengikis sistem kekebalanku. Satu persatu penyakit mulai
menyerang tubuhku karna imunku semakin menipis. Dan aku sadar, waktuku tak akan
lagi dekat. Justin...aku mohon jangan menangis ketika aku pergi nanti. Aku
mohon lanjutkan hidupmu yang masih panjang itu. Carilah seseorang yang bisa
memberikanmu anak perempuan yang selalu kau impikan. Jika aku bisa, aku rela
hidup untuk kedua kalinya untuk memberikanmu keturunan. Sayangnya aku tak bisa Justin.
Aku mencintaimu, bahkan semua kata yang ada di dunia ini tak sanggup
mendeskripsikan makna cintaku padamu. Maaf membiarkanmu hidup dalam kebingungan
dan terluka selama menjadi suamiku. Kau adalah suami terhebat yang tak akan
pernah ku temukan di dunia berikutnya sekalipun. Tapi jika Tuhan mengizinkan,
walaupun di dunia berikutnya nanti...aku masih dan akan tetap mencintaimu.
Terima
kasih untuk 8 bulan pernikahan kita, terima kasih untuk 6 tahun hubungan kita,
itu adalah 6 tahun 8 bulan terindah dalam 22 tahun hidupku.
Teruslah
hidup, karna aku mencintaimu. Karna cintamu juga akan terus membuatku hidup di
dalam hatimu...
Your stupid wife, Alena Bieber.
Justin meremas kertas itu erat-erat. Hatinya sakit dan
tersentuh dalam waktu bersamaan. Kenapa dengan bodohnya ia berfikiran buruk
jika Alena sudah tak mencintainya lagi? Kenapa dengan bejatnya ia mencoba
mencari sentuhan dari gadis lain? Justin melesakkan kepalanya ditangan Alena
yang digenggamnya. Membasahi tangan kurus lemas itu dengan air mata
penyesalannya. Tak lama tangan itu bergerak membuat Justin mendongak dan
menciuminya.
“Alena? Kau sadar? Alena?” Alena membuka matanya yang sayu.
Perlahan ia melepas oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya.
“Kenapa menangis?” tanyanya parau. Justin menggeleng-geleng
sambil mencengkram kuat tangan lemas Alena. Takut jika cengkraman itu longgar
sedikit saja, Alena akan pergi.
“Jangan menangis...”
“Kenapa kau melakukan semua ini? Kenapa kau membiarkan aku
tidak mengetahuinya? Kenapa kau memilih menanggung semuanya sendirian? Kau
tidak menganggapku sebagai suamimu lagi hah?”
“Aku takut kau berhenti mencintaiku”
“Aku mencintaimu. Selamanya akan tetap begitu... biarkan aku
ikut bersamamu! Biarkan aku tertular agar kita bisa hidup bersama di surga
nanti”
“Tak semudah itu Justin...aku terluka jika melihatmu sampai
sepertiku...”
“apakah kau tau jika aku terluka? Apa yang harus aku lakukan?
Please, just let me know! What should I do?”
“Tetaplah hidup. Lanjutkan kehidupanmu, cari kebahagiaanmu
itulah yang harus kau lakukan”
“Tidak! Alena... kaulah kebahagiaanku! Kau bilangkan jika aku
tenggelam kau rela mati bersamaku! Dengan cara seperti ini kau justru
membiarkan aku mati sendiri Alena!”
“Justin...kau bilang jika kita tenggelam kau akan
menyelamatkan hidupmu. Akupun begitu, aku tengah menyelamatkan hidupku...
kau... Oh, tidak. Kau bahkan lebih dari sekedar hidup untukku. Kau segalanya, Justin.
I’m sorry...”
“Aku mencintaimu Alena, Mrs. Bieberku. I’m sorry, I’m so
sorry...”
“Ssst...aku juga. Jika kau mencintaiku, jangan menangis. Okay?”
Justin mengangguk lalu mengecup lembut dahi Alena.
“hm... aku mengantuk Justin...”
“tidurlah” bisik Justin sambil mengusap lembut kepala istrinya.
Alena terlelap perlahan dan Justin tersenyum melihat wajah malaikatnya itu
terlelap. Tapi senyuman itu tak berlangsung lama. Ketika suara bunyi pip yang
memekakan telinga mulai berkumandang, Justin tau itulah waktunya.
Justin tau, Alenanya dipanggil oleh penciptanya.
Dan Justin tau, suara alunan mesin pendeteksi jantung yang
nyaring itu adalah sebuah melodi. Melodi permohonan maaf sebesar-besarnya
untuknya, dari sang istri tercinta...Alena Bieber.
Even in another life, I still love you, my husband. Justin idiot Bieber.
Hallo guys! Inget
aku? Si pengkhianat yang gak setia sama Justin L
rasanya sedih deh inget masa lalu disaat-saat sibuk fangirling sama Justin.
Emang sih sekarang aku udah bukan part of beliebers but still, I like Justin
and he’s still so mean to me.
Nah BLS ini
sebenernya remake dari salah satu ff yang aku buat. Semoga kalian meraskaan
feelnya dan aku sangat berharap kalian masih mau membaca BLSku ini:’)
Comment ya! See-ya!
No comments:
Post a Comment