Malaikatku Tak Bersayap
1 Februari 2012
Kata orang hidupku sempurna...punya segalanya.
Orang tua yang berada dan menyayangiku, punya wajah cantik , disukai banyak
lawan jenis , punya otak cerdas , tapi itu... kata mereka.
“Tinara... cepetan nanti telat” Aku merapikan
kerutan di rok yang ku kenakan lalu sekali lagi memperhatikan kaca lalu meraih
notes kecil yang baru saja aku tulis dan mendekapnya di dada, notes itu akan
aku isi dan bawa kemanapun.
Setelah kejadian itu semuanya berubah.
“I’m coming” jawabku sambil berlari menyusuri
anak tangga, Mamaku menunggu dibawah dengan penuh senyum tapi jelas kerut
wajahnya menceritakan bagaimana ia memikirkan aku dan segala tentangku terlalu
banyak. Di ujung anak tangga aku kehilangan keseimbangan tapi dengan cepat aku
berdiri tegak lagi. Wajah mama berubah drastis, ia mendekatiku khawatir.
“Pake kesandung segala...Aku gapapa ma” jelas
sekali ia khawatir, tapi aku baik-baik saja.
Mereka tidak tau kalau aku adalah gadis yang
lemah, menyusahkan , aku bukanlah apa-apa setelah hari itu. Aku hanyalah
sebagian orang-orang tak berguna. Sampai hari ke empat aku dirawat, aku
hanyalah sampah.
“kamu yakin mau ngambil mata kuliah itu? Apa gak
takut keberatan nantinya?” aku menatap mama dengan yakin memberi tahunya kalau
pilihanku sudah mantap.
“Mama sih ga ngelarang, tapi mama takut kamu
gabisa ngi...”
“I’m okay, just trust me Ma” dia tersenyum lembut
mengalah kepada anaknya yang keras kepala ini. Aku menyandang tasku yang berisi
berkas-berkas pendaftaran kuliah. Mama mengantarku sampai mobil lalu mengecup
pipiku hangat.
“Hati-hati ya Nara...” kujawab dengan senyum dan
iapun mengerti kalau itu berarti ya. Handphoneku berdering bising, aku meraba
isi tasku dan meraih benda kecil yang bergetar itu tanpa melihat siapa yang
memanggil, karna aku tau siapa dia.
“Lo dimana sih ra?” serbunya dan aku hanya bisa
menjauhkan handphone itu dari telingaku lalu tertawa.
“Biasa aja lagi. Gue... baru on the way belum
masuk tol”
“Gila lo, masih jauh banget! Cepetan deh gue bete
sendirian.”
“Iya bawel”
Aku melewati jalanan itu lagi hari ini... jalanan
yang 2 tahun lalu menyebabkan aku harus masuk rumah sakit. Tapi tempat itu
bukanlah lagi tempat menyeramkan, semenjak kedatangannya.
Back to , November 2010
“PERGIIIIII GUE BILANG PERGI!!!!” Aku membanting apa yang bisa kuraih
dengan tanganku. Nafasku naik turun tak teratur, sprei biru yang menjadi alas
kasurku ini sudah tak berbentuk lagi. Perawat yang memegang nampan itu mundur
ketakutan, berusaha menenangkanku tapi tidak bisa, aku terlalu labil.
“Tapi Tinara harus makan... katanya mau cepet...”
“APA? CEPET SEMBUH? GAK! GUE GAAKAN SEMBUH HANYA
KARNA MAKAN DAN MINUM OBAT! GUE GABISA DISEMBUHIN DENGAN CARA ITU” Aku tau
teriakanku mengganggu penghuni rumah sakit yang lain tapi aku tak perduli,
emosiku benar-benar labil semenjak kecelakaan yang menimpaku empat hari yang
lalu. Aku benci berada disini! Aku benci pada mobil sialan yang menyebabkan aku
menabrak pembatas jalan, aku benci Tuhan karena membiarkan ini semua terjadi
dan aku membenciNya karna dia membuat duniaku gelap.
“BERISIK! LO PIKIR CUMA LO DOANG YANG PUNYA
MASALAH DI DUNIA INI? SUARA LO GANGGU TAU GAK? KALO MAU TERIAK SANA DILAPANGAN
SEKALIAN” suara itu muncul dari arah kananku, setauku aku dirawat di kamar
kelas VIP yang berarti hanya ada satu orang dirawat dikamar ini, siapa dia?
“LO SIAPA?” teriakku tak kalah keras. Tiba-tiba
aku merasakan ada yang menyibak gorden hijau yang ada disisi tempat tidur,
langkah kaki terdengar pertanda orang itu mendekat.
“Gue? Gue malaikat yang kebetulan lewat terus
keganggu karna suara teriakan lo itu” Lucu sekali orang ini ingin membodohiku.
“Gue tau gue buta, tapi gue ga sebego yang lo
kira”
“Gue emang malaikat, malaikat yang diutus Tuhan
buat mencabut nyawa... tapi tugas gue terganggu karna gue denger lo teriak tadi”
katanya dan suaranya semakin dekat. Aku penasaran dia itu orang macam apa...
bisa-bisanya dijaman seperti ini menganggap dirinya sendiri malaikat, gila.
Ku kira omongannya hanyalah lelucon, tapi aku salah
tentangnya...
“Ohya? Kalo gitu kenapa ga sekalian lo nyabut
nyawa gue sekarang? Daripada gue nyusahin orang-orang di dunia.” Aku dengar dia
melangkah lagi semakin dekat dan sepertinya dia duduk di tepi tempat tidurku
dekat kakiku.
“Jadi lo yakin kalo lo mati lo pikir ga bakal
nyusahin orang lagi?” tanyanya membuatku mengernyit lalu mengangguk.
“Iyalah, kalo gue idup gue gabisa ini itu, jadi
gaada guna. Gue butuh orang lain dan itu Cuma nyusahin”
“Apa lo pikir lo bakal gali kubur sendiri? Terus ngubur
diri lo sendiri? Terus berdoa buat diri sendiri, gitu?” tanyanya dan membuatku
diam. Lalu aku dengan suara meja lipat yang dibuka dan nampan diletakkan
diatasnya.
“Lo harus belajar bersyukur dari sekarang ya Non
Tinara Wibowo.” Tiba-tiba sesuatu menyentuh bibirku yang kuyakini adalah
sendok. Aku memundurkan kepala menolak sendok itu dan dia menjauhkannya.
“Gue bakal ngambil nyawa lo kalo udah waktunya,
sekarang lo HARUS sabar dan bertahan, paling enggak buat orang tua dan diri lo
sendiri. Ngerti?” aku tak menjawabnya lalu dia menghela nafasnya. Dan tiba-tiba
aku meresponnya dengan memajukan wajahku dan membuka mulutku, dia dengan cepat
memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutku.
“alasan lo ga masuk akal” jawabku ketus.
“Ga semua yang di dunia itu masuk akal. Udah
deh... mimpi lo gaakan terhenti Cuma karna lo gabisa ngeliat. Masih ada jalan
lain untuk ngebuat lo bisa ngeliat lagi dan menggapai mimpi lo”
“Ga, gue buta dan itu berarti gue ga berguna”
“Jadi kalo lo gak buta lo merasa bakal BERGUNA?”
hening. Aku lagi-lagi terdiam karna ucapannya.
“Orang buta juga masih bisa beraktifitas kayak
orang normal”
“Sok tau!”
“Taulah, guekan malaikat.” Dia menyuapiku lagi
dan aku tau kalau dia tertawa. Aku memegang punggungnya dan dia cukup terkejut.
“Lo ga bersayap jadi lo BUKAN malaikat”
“Baweeeel”
---
Sebulan sudah aku disini setelah kejadian
pertemuanku dengan malaikat itu... dan malaikat itu bernama Justin. Aku cukup
senang dengan kehadirannya, aku kira dia disini karna ada sanak keluarganya
yang dirawat namun aku baru tau kalau dialah yang dirawat disini. Katanya dia
terkena flek di paru-parunya karna keseringan menghisap asap kotor ketika naik
motor.
“Nona Tinara... bagaimana keadaannya? Membaik?”
tanyanya sambil menghampiriku yang sedang mendengarkan lagu.
Senyum yang lenyap perlahan kembali datang, emosi
yang meledak berubah menjadi kesenangan yang tak tergambarkan, dan kegelapanku
perlahan-lahan berubah kembali terang.
“Mau makan di taman?” tanyanya dan tentu saja aku
mengangguk setuju. Dia selalu menghampiriku setiap hari, kamar rawat kami
bersebelahan dan entah kenapa aku tak lagi membenci Tuhan dan takdirnya.
Sejak Justin ada... perlahan aku berani mencoba
aktif kembali. Dari hal kecil seperti mengambil gelas di meja dan bahkan
berjalan ke toilet sendiri. Namun jika ada dia aku hanya ingin dia menuntunku
atau mendorongku di kursi roda, apapun itu asal bisa dekat dan mendengar
suaranya rasanya ada satu energi yang bertambah setiap harinya. Kegelapanku tak
segelap dulu meskipun aku tau kalau aku akan buta selamanya jika dia tetap ada
disisiku itu cukup, keberadaannya cukup untuk menjadi lenteraku.
“Dari dulu lo ga pernah cerita tentang
cinta-cintaan, bosen nih ngomongin tentang mimpi mulu” kataku setelah selesai
memakan makan siang kami. Dia menarik rambutku lumayan kencang.
“Aduh kok dijambak?”
“Bosen? Eh justru karna mimpi dunia ini ga
ngebosenin lagi.” Katanya dan aku tertawa.
“Oh ya? Kalo gitu lo Cuma mimpi doang dong?”
kataku bercanda tiba-tiba dia merangkulkan tangannya di bahuku dan sontak
membuat aliran darahku mengalir deras.
“Iya gue soalnya bikin lo ga bosen lagi ya?”
pukulan ringan melayang dan menghantam kepalanya, dia meringis dan kamipun tertawa
namun tawa itu reda ketika tanganku yang masih menempel dikepalanya di raih
jemarinya, ia menuntun tanganku turun ke pipinya. Aku mengangkat tanganku yang
satu lagi dan memegang kedua pipinya, ku elus perlahan dan aku rasakan matanya
menatapiku. AH... andai saja mata ini bisa melihat bola matanya...
“Lo mancung...” tanganku menyentuh hidungnya
“Alis lo tebel...” tambahku lagi seraya mengelus
lembut alisnya
“Lo...” aku berfikir kalimat apa yang cocok untuk
mendeskripsikannya, perasaanku sangat menggebu-gebu ingin melihatnya...
menatapnya. Sayang aku tak bisa.
“ganteng” sambungnya dan membuat otakku refleks
memerintahkan tanganku untuk menjitaknya.
“ADUUH... heh tau gak sih jitak malaikat itu
perbuatan dilarang” katanya dan membuat hidungku mengkerut tertawa geli.
“Lo itu bukan malaikat... kita main realistis aja
deh sekarang, lama-lama kita bisa gila” dia menjawil hidungku membuat aku
mundur beberapa centi.
“Kadang yang realistis itu ga keliatan dan semu...
dan kadang yang Cuma fantasi itu beneran ada”
“iya tuan Justin, just as you say... it’s up to
you”
Aku tak melihat kalau terkadang malaikat itu
datang tanpa sayap dan cahayanya, aku tak melihat kalau tak selamanya malaikat
itu bersayap, seperti malaikatku... dia hanya manusia biasa yang membuat
hidupku berbeda.
---
Malam itu malam yang dingin, dan malam itu sudah 3
bulan aku berada disini dan mengenal Justin. Aku tengah duduk di kamarku
menunggu Justin yang biasanya akan datang dengan seenaknya ke kamarku dan
membawaku ke taman rumah sakit untuk bercerita. Tapi malam itu dia tak datang,
seberapa lamapun aku menunggu dia tetap tak datang hingga aku tertidur dan
pagipun datang. Haripun terlewati begitu cepat dan Justin tetap belum datang
hingga malam itu tepatnya malam ulang tahunku aku mendengar Mama menangis
setelah dokter memanggilnya, setauku dokter bilang kalau tak ada donor mata untukku
dalam waktu dekat ini, aku boleh di pulangankan dan menunggu di rumah tapi aku
tau kalau itu berarti memang tak akan ada donor mata untukku dan itu membuatku
seperti di timpa berton-ton batu, aku menangis. Harapanku untuk hidup normal
sepertinya tinggal harapan, kesempatanku untuk melihat Justin meskipun hanya
sekalipun hanyalah mimpi belaka. Tuhan kenapa kau menempatkan aku di point ini
lagi? Justinpun tak tampak hingga jam menunjukan pukul sebelas empat puluh, aku
pernah berharap kalau dia akan ada di sampingku menghitung mundur detik menuju
usiaku. Aku ingin bertambah usia di sisinya, tapi dia tak tampak. Dia padahal
berjanji ingin memberikanku hadiah spesial, namun sampai saat ini... dua hari setelah
ulang tahunku dia tak datang meski hanya untuk mengucapkan selamat.
“Suster Nindy...” panggilku ketika suster yang
biasa membawaku makanan dan menyuapiku selama Justin tak ada itu selesai
menyuapiku.
“iya Tinara... kenapa?” tanyanya halus. Aku malu
namun aku sungguh penasaran.
“Justin...”
“Oh pasien kamar sebelah yang ganteng itu?”
hening. Aku hanya terdiam dan dia tertawa kikuk.
“ehehehe maksudnya... gak tau saya... sayakan ga
kebagian ngurusin dia jadi saya gak tau. Maaf ya...” aku mengangguk lemah lalu
membiarkannya keluar. Aku benci Justin.
Sebenarnya aku tak akan
bisa membenci manusia itu...
Malam itu aku meminta Suster Nindy mengantarku ke
taman meskipun dia menolak pertamanya tapi keras kepalaku berhasil
mengalahkannya. Dan aku tidak menyangka kalau aku akan bertemu Justin disana.
Aku mengenalinya dari harum tubuhnya. Dia tak berbicara sampai aku memulai
pembicaraan.
“Lo kemana aja?” tanyaku datar. Dia tak bergeming
dan aku mengulang lagi pertanyaan.
“Lo kemana aja, Justin Bagas Nugraha?”
“Ga kemana-mana” jawabnya singkat dan dingin. Aku
rasakan hatiku ngilu, sakit mendnegarnya berbeda seperti itu.
“Oh gitu. Lo ga ngabarin gue selama berhari-hari,
bahkan di hari spesial guepun lo gaada. Kenapa? Lo bosen nemenin orang buta
kaya gue hah?” lagi-lagi emosiku labil. Mungkin ini karna kabar mengenai donor
mata yang membuatku hopeless dan desperate.
“Gue.............”
“Udahlah tin... gue emang seharusnya gak terlalu
banyak berharap sejak awal. Gue harusnya sadar kalau Tuhan itu emang
ngerencanain sesuatu yang buat gue terus-terusan ada di lowest point. Dan
dengan adanya lo... gue semakin terpuruk,”
“Gue ga kenal sama Tinara yang membenci Tuhannya
sendiri... Gue udah pernah bilang sama lo kalau bukan Cuma lo yang ngalamin
masalah. Masih banyak diluar sana yang lebih menderita daripada lo! Harusnya lo
itu bersyukur Tuhan masih memberikan kesempatan lo buat senyum walaupun Tuhan
lagi menguji lo. Orang di luar sana banyak yang gatau gimana rasanya bahagia.
Cuma satu yang ngebuat dia bahagia, Tuhan masih ngizinin dia menghirup nafas.” Aku
merasakan air mata mengalir perlahan tapi dengan cepat aku melapnya. Aku tidak
lemah.
“LO GA AKAN PERNAH NGERTI GIMANA RASANYA JADI
GUE! KARNA LO GA NGALAMIN INI” aku memutar kursi rodaku berbalik untuk masuk ke
dalam tapi aku dengan suara Justin yang pelan namun tajam.
“Oh ya? Kalau lo jadi gue... mungkin lo gaakan
pengen lagi idup!” aku tak menghentikan putaran rodaku, aku hanya ingin jauh
darinya. Aku benci dia.
Kata orang penyesalan itu selalu datang
belakangan dan rasanya amat sangat menyakitkan. Aku tak perduli tentang itu
sampai akhirnya penyesalan datang padaku.
2 Bulan Kemudian
Aku ada dirumah dan hidupku benar-benar terasa
sepi. Dan aku baru sadar kalau aku buta... gelap. Justin benar-benar
penerangku, dia tak membiarkan aku kegelapan sama sekali. Aku menghela nafasku
sambil mendengarkan suara musik yang mengalun sampai tiba-tiba Mama masuk ke
kamarku. Dia mengelus rambutku lembut, dan aku tau kalau sedang ada sesuatu.
“Lagi kangen seseorang ya.?” Tepat. Aku rindu
Justin. Sangat-sangat merindukannya.
“Yaudah yuk kita main ke rumah sakit”
“beneran ma? Tapi emang Justin masih dirawat
disana?” tanyaku dan mama mengelus lagi rambutku.
“Iya... Mamakan kenal sama mamanya Justin” aku
hanya berO ria. Lalu bersiap-siap untuk ke rumah sakit. Aku tak perduli dengan
masalah yang membuat kami tak berbicara satu sama lain sampai membuat aku ingin
pulang ke rumah dua bulan yang lalu. Yang aku inginkan bertemu dengannya dan
menyatakan kejujuran.
Suasana rumah sakit sudah membuatku terbiasa. Aku
berdiri dibeakang Mama karna nyaliku yang tadinya sebesar bola tiba-tiba
menciut menjadi secuil nasi. Aku ragu kalau Justin mau berbicara lagi denganku.
Ketika aku dan Mama masuk kudengar suara tante Pattie menyambut kami. Beliaupun
memelukku. Aku sama sekali tak mendengar suara Justin. Mungkin dia sedang
keluar atau tidur. Tapi tiba-tiba tante Pattie menarikku kearag kasur.
“Justin... bangun, liat ada siapa...”
“ngggh”
“gausah di bangunin tante, kasian.” Kataku lembut.
Tante Pattie tiba-tiba terisak lalu dia mencium pipiku sekilas.
“gapapa. Tante nitip Justin ya... tante mau ke
kantin rumah sakit sama mama kamu” katanya dan aku mengangguk. Setelah mereka
keluar aku mendekati Justin dan tiba-tiba dia bersuara.
“Tinara... lo...”
“Gue kangen sama lo...” putusku sambil memeluk
lehernya. Ia tak juga beranjak bangun dari tidurannya ataupun membalas
pelukanku.
“Gue juga”
“Maaf” kata-kata itu terucap berbarengan. Aku
rasa air mataku sudah menganak di pelupuk mataku.
“Jangan... gue mohon jangan nangis...” tiba-tiba
tangannya menyentuh pipiku lemah. Dia kenapa sebenarnya?
“Gue...”
“Lo kenapa?” tanyaku meminta dia melanjutkan
ucapannya. Namun dia malah menggenggam tanganku kuat.
“Gue sayang sama lo Tinara...” tiba-tiba
tangannya menarik tengkukku dan dia mengecup bibirku lembut.
“Gue juga....” bisikku diakhir ciumannya.
Kalian tau... rasanya di ajak terbang dan
dijatuhkan sekaligus itu rasanya sangat sakit? Yap, sangat amat sakit. Justin.
Dia memang adalah malaikat kematian. Dia mengajakku terbang dengan sayap tak
terlihatnya, dan ketika sampai di dekat surga dia melepaskanku. Membuatku
jatuh.
1 Februari 2012
Aku memarkir
mobilku di parkiran kampus baruku. Ya, aku sudah sampai. Tak terasa perjalanan
selama satu setengah jam tadi membawaku kembali ke masa-masa itu. Aku keluar
dari mobil dan melihat sekeliling, kampus ini... pernah menjadi bagian dari
mimipi Justin. Aku berjalan kearah kursi taman, setengah jam lagi aku baru akan
masuk untuk mendaftar. Aku akan menjadi mahasiswa fakultas sosiologi. Entah
datang darimana kegilaan untuk mengambil jurusan itu. Aku duduk di kursi taman dan
membuka kembali notes kecilku.
Catatanku tersayang, tak terasa besok aku akan
menginjak 20 tahun. Usia yang bukan lagi tepat untuk menjadi labil. Dan tak
terasa lembaran ini adalah lembaran terakhirmu untuk aku isi. Aku pasti akan
sangat merindukan menulis di kertasmu yang mulai menguning dan keriting karna
aku selalu membawamu kemanapun. Catatan sayang... aku rindu pada malaikatku...
Bagaimana keadaanya? Aku yakin Tuhan akan menjaganya dengan baik. Diakan salah
satu malaikat terbaik yang diutusnya ke bumi untuk menuntun seorang gadis lemah
buta yang butuh lentera. Hari ini aku masuk kuliah. Kegiatan yang seharusnya
aku lakukan dua tahun yang lalu, namun terhenti karna kecelakaan itu. Sekarang
, aku akan memulainya dari ulang. Aku akan melakukan yang terbaik karna
malaikatku melihatku dari sana. J
-Tinara
Aku sedang tiduran di kasurku seperti biasa
sambil mendengarkan lagu.Aku membuka lagi dari awal lembar demi lembar catatan
kecil yang selama dua tahun menemaniku ini. Kisah dibaliknya adalah kisah
selama 2 tahun aku mencintai malaikat kematian itu... Bukan berarti setelah ini
aku berhenti mencintainya... aku mencintainya sampai kapanpun, meskipun aku dan
dia tak mungkin bersama. Dunia kami berbeda setelah seminggu aku mengunjunginya
waktu itu. Dia pergi tanpa mengizinkan aku melihat wajahnya meskipun hanya sekali.
Hari itu adalah hari dimana aku pergi ke Singapura untuk operasi mata. Selama
operasi berlangsung aku bermimpi melihat seorang laki-laki seumuranku yang
mengaku sebagai malaikat pencabut nyawa. Dia bilang kalau dia akan mencabut
nyawaku lain waktu karna ini belum saatnya. Setelah itu dia tersenyum dan terbang
entah kemana. Aku membuka mata setelah 6 jam mataku ditutupi perban. Aku
membuka mataku dan melihat Justin berdiri disampingku. Wajahnya... persis
seperti yang ada di mimpiku. Lalu tak lama aku jatuh pingsan. Aku tertidur
hampir seharian, obat bius yang digunakan terlalu membuatku pusing dan
mengantuk. Aku kembali ke Indonesia untuk memberi Justin kejutan, tapi
sepertinya justru aku yang mendapat kejutan karna ketika aku masuk ruangan
Justin kosong. Katanya Justin sudah dibawa pulang.
Kalian tau tidak? kejutan tidak selalu
membahagiakan.
Aku merasakan kakiku kehilangan kekuatan untuk
berdiri. Yang kulihat sekarang gelap mengelilingiku. Ditengah ruangan rumah
mewah itu tengah terlelap kaku, malaikat tanpa sayap itu.
Ku kira malaikat itu akan bertugas selamanya di
bumi, tapi nampaknya tugasnya di bumi sudah selesai. Malaikatku di panggil
penciptanya...
“Justin...............” aku berlari kearah
mayatnya. Aku menangis sambil menyentuh pipinya, hidungnya , alisnya. Dingin
menjalar ketika aku menyentuh semua itu. Kemana kehangatanmu?
“Tinara... ini hadiah ulang tahun kamu yang ke
18, Justin baru bisa memberikannya sekarang. Mungkin ada penjelasannya disana”
Tante Pattie menangis, matanya sembab tapi dia terlihat lebih tegar daripada
aku yang justru tak bisa menahan air mata barang sedetikpun.
Aku buka kotak kecil itu yang berisi sebuah buku
bersampul biru sapphire aku buka dan di halaman depan terisi foto polaroid
Justin sambil memegang kertas berisi
‘HAPPY BIRTHDAY TINARA!!!’
Lalu tulisan
‘Ini hadiah gue buat nona Tinara!’
-Justin si Malaikat Maut
1 Februari 2010
-first page-
Hai cantik! Ini gue malaikat maut. Gimana foto
yang didepan suka gak? Ohiya buku ini gue sendiri yang design... walaupun
simple tapi gue pengen buku ini diisi ‘kita’ berdua. Pokoknya notes ini berisi
perjalanan kisah cinta kita. Nembak secara gak langsung tuh gue... hehe.
-2nd page-
Lo tau hidup gue berubah semenjak kehadiran lo? Si
nona buta yang cantik jelita. Semenjak hari pertama gue udah ngeliat lo masuk
ruangan sebelah ruangan gue. Dan di hari keempat lo dirawat gue dapet
kesempetan secara ga sengaja buat deket sama lo. Gue gaakan menyesali itu
semua. Gue udah di rumah sakit ini hampir setengah tahun. Perkembangan gue dari
penyakit gue...gaada. Sama aja. Tapi karna ada lo paling engga gue ga pernah
ngerasain sakit lagi. Lo mempan banget jadi obat buat gue sih, hehe.
-3rd page-
Tinara malem ini gue udah berniat buat ngasih
buku ini buat lo. Tapi tadi tiba-tiba kaki gue gabisa di gerakin. Gue jatuh dan
gue takut kalo lo tau apa yang sebenernya terjadi sama gue. Gue takut lo marah
karna gue bohongin lo. Maaf ya Tinara...
-4rd page-
Gue rasa gue gabisa nulis lagi buat lo...
kemampuan tangan gue untuk bergerak udah mulai menurun. Liat tulisan guye kayak
ceker ayam. Gue gabisa nemuin lo malem ini maaf ya...mungkin sampe seterusnya
gue gabisa menuntun lo lagi... gue lumpuh.
-5rd page-
Ini saatnya gue jujur sama lo. Gue mau gue pergi
tanpa menyimpan beban. Gue... sakit. Gue bukan sakit flek paru-paru. Gue sakit
parah Ra... sakit ataksia. Penyakit ini sempet bikin gue marah. Marah karna
kalo gue lumpuh nanti... gue gabisa meluk lo, ngelap air mata lo... makanya pas
lo baca ini jangan nangis ya... soalnya jari gue takut gabisa di gerakin buat
ngelap air mata lo... gue benci banget sama penyakit ini. Huuh... Ra...gue
takut deh kalo nanti waktunya Tuhan manggil gue... dia ngehukum gue, soalnya
gue ga ngejalanin tugas dengan baik... guekan malaikat kematian eeh malah
mencong jalan jadi malaikat rupawan yang membantu seorang gadis cantik.
Tuuhkan, cewek itu lagi senyum-senyum baca ini... makin cantik deh... Tinara...
gue sayang sama lo. Gue takut mulut gue gabisa lagi bergerak buat nyatain
itu... gue terlalu lama dalam bertindak. Maaf atas semuanya ya kebohongan gue,
gue tau lo pasti marah tapi...jangan benci gue. Gue mau lo mengenang gue sebagai
kenangan terindah buat lo. Thanks juga udah ngebuat hidup gue berarti. Ngebuat
gue jadi sebuah lentera buat lo itu sangat amat berarti buat gue. Makasih udah
bikin gue senyum di akhir-akhir waktu gue yang ga panjang ini. Dan terimakasih
udah ngebuat gue, si malaikat maut beralih profesi jadi malaikat baik hati(?) Kalau
hidup gue masih panjang...............lo maukan jadi pacar gue? Hehe
-Justin, malaikat maut yang rupawan ._.v
Basah. Lembaran itu basah oleh air mataku yang mengalir. Justin pergi
meninggalkanku.Apakah disana kau rindu padaku?Meski kita kini ada di dunia berbeda,bila masih mungkin waktu berputar
kan kutunggu dirimu. Aku meraih pulpen dan menyelesaikan beberapa garis lembaran terakhir yang kosong.
2 Februari 2012
-Last Page-
Biarlah ku simpan sampai nanti aku kan ada di sana
Tenanglah dirimu dalam kedamaian
Ingatlah cintaku meskipun kau tak terlihat lagi
Namun cintamu abadi. Akan ku kenang malaikat maut tak bersayap itu
sampai nanti dia memanggilku.
-@mayangaenii